Stay or Slay? Gen Z Galau Antara Job Aman vs Karier Impian

Oleh : Andrea Messakh, S.Psi.
Mahasiswa Psikologi Sains, Universitas Airlangga Surabaya

Banyak anak muda Generasi Z saat ini menghadapi dilema besar: bertahan di
pekerjaan yang terasa aman atau berani mengejar karier impian yang lebih sesuai
dengan minat dan keahlian. Fenomena ini belakangan ramai diperbincangkan di media sosial seperti TikTok dan dikenal dengan istilah job hugging. Istilah ini
menggambarkan kondisi ketika seseorang memilih bertahan dalam pekerjaan bukan
karena merasa nyaman atau sesuai kemampuan, tetapi karena tuntutan ekonomi, kebutuhan hidup, dan kekhawatiran menghadapi ketidakpastian masa depan.

Latar belakang fenomena ini tidak lepas dari pengalaman kolektif selama
pandemi COVID-19. Krisis kesehatan yang kemudian berkembang menjadi krisis
ekonomi memaksa banyak perusahaan melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) besar-besaran.

Menurut data Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker), jumlah
pekerja yang terkena PHK di Indonesia sejak pandemi COVID-19 hingga 2025
mengalami naik-turun.

Pada 2020, awal pandemi, PHK mencapai sekitar 386 ribu orang. Angka ini turun menjadi 127 ribu di 2021, lalu kembali menurun ke 25 ribupada 2022 seiring pemulihan ekonomi. Namun, pada 2023 PHK naik lagi menjadi sekitar 65 ribu, dan meningkat ke 78 ribu pada 2024 akibat tekanan ekonomi global dan efisiensi perusahaan. Hingga Mei 2025, tercatat sudah ada sekitar 26 ribu pekerja yang di-PHK.

Data ini menunjukkan bahwa meski pandemi sudah mereda, ketidakpastian kerja di Indonesia masih terus berlanjut. Kementerian Ketenagakerjaan mengidentifikasi tujuh faktor utama yang mendorong gelombang PHK, mulai dari kerugian perusahaan akibat penurunan pasar, relokasi usaha ke daerah dengan upah lebih rendah, perselisihan hubungan industrial, balasan terhadap aksi mogok kerja, efisiensi operasional, perubahan model bisnis, hingga kebangkrutan. Kombinasi tekanan ekonomi dan kebijakan perusahaan inilah yang membuat pasar kerja terasa semakin sulit diprediksi.

Dalam situasi seperti ini, muncul fenomena career FOMO (fear of missing out
dalam karier), yaitu rasa takut tertinggal tren industri populer. Banyak Gen Z merasa
perlu bertahan di pekerjaan yang aman sambil terus memantau peluang di sektor lain yang dianggap menjanjikan. Namun, keputusan ini sering kali bukan didorong oleh minat atau kecocokan keahlian, melainkan keinginan untuk mengurangi risiko kehilangan penghasilan dan tetap relevan di pasar kerja. Dengan kata lain, ketakutan akan ketidakpastian ekonomi membuat banyak Gen Z “memeluk erat” pekerjaan mereka meskipun pekerjaan itu mungkin tidak sesuai dengan passion yang sebenarnya. Dari perspektif psikologi, fenomena job hugging dapat dijelaskan melalui Teori Job Embeddedness.

BACA JUGA:  “Pray For Kupang” Wujud Kontribusi Tingkatkan Kerukunan Antar Umat Beragama di NTT

Teori ini menyoroti seberapa kuat seseorang “melekat” pada
pekerjaannya dan lingkungan sekitarnya, sehingga membuatnya sulit untuk pergi. Ada tiga dimensi utama dalam konsep ini. Pertama, links, yaitu banyaknya hubungan
dengan orang atau aktivitas di tempat kerja. Kedua, fit, yakni seberapa cocok pekerjaan
dengan kehidupan dan nilai pribadi. Ketiga, sacrifice, yaitu apa saja yang akan hilang
atau dikorbankan jika seseorang keluar dari pekerjaan.

Semakin besar ketiga faktor ini,
semakin besar pula kemungkinan seseorang memilih bertahan.
Dalam kondisi ekonomi yang tidak menentu, job embeddedness semakin
relevan untuk memahami perilaku Gen Z.

Generasi ini cenderung bertahan di pekerjaan yang dianggap aman ketika memiliki banyak hubungan sosial di kantor (links), merasa pekerjaannya sesuai dengan gaya hidup (fit), serta khawatir kehilangan berbagai manfaat jika keluar (sacrifice). Faktor sacrifice bahkan semakin kuat dengan adanya kebijakan pemerintah seperti Dana Tapera (Tabungan Perumahan Rakyat), yang mensyaratkan potongan gaji rutin agar karyawan dapat menabung untuk kepemilikan rumah.

Jika seseorang keluar dari pekerjaannya, kontinuitas iuran Tapera bisa terhenti,
sehingga peluang memiliki rumah pun semakin kecil. Di sisi lain, gaya hidup khas Gen Z—seperti kebiasaan ngopi di kafe, nongkrong, atau menikmati aktivitas sosial
berbasis konsumsi—juga mendorong kebutuhan akan pendapatan tetap.

Kombinasi antara keinginan menjaga stabilitas finansial, mempertahankan manfaat jangka panjang, dan mendukung pola konsumsi sehari-hari membuat Gen Z lebih memilih bertahan meskipun pekerjaan yang dijalani tidak sepenuhnya sesuai minat atau keahlian.

Namun, bertahan hanya demi rasa aman bukan berarti tanpa risiko. Fenomena
career FOMO dapat memicu stres, kecemasan, bahkan burnout. Perasaan takut tertinggal tren industri membuat banyak anak muda merasa harus selalu memantau peluang baru, membandingkan pencapaian diri dengan orang lain, dan akhirnya kelelahan secara mental. Karena itu, penting bagi Gen Z untuk memiliki strategi agar tidak terjebak dalam lingkaran ketakutan ini.

BACA JUGA:  Pj. Gubernur Buka Forum Business dan Business Matching Pengusaha NTT- Timor Leste

Beberapa langkah praktis dapat membantu mengelola tekanan tersebut.

Pertama, lakukan kurasi informasi dengan membatasi paparan media sosial karier
seperti LinkedIn atau TikTok yang memicu perbandingan sosial berlebihan.

Kedua, terapkan mindfulness atau lakukan digital detox secara berkala untuk menenangkan pikiran dan mengurangi kecemasan akibat cepatnya perubahan tren kerja.

Ketiga, kembangkan growth mindset dengan fokus pada pengembangan keterampilan dan pengalaman, bukan hanya mengejar posisi atau industri yang sedang “hype”.

Selain itu, perencanaan keuangan yang matang sangat penting agar kebutuhan gaya hidup tidak sepenuhnya bergantung pada satu sumber penghasilan.

Mengembangkan keterampilan lintas bidang juga dapat membuka peluang karier lain di masa depan, sehingga keputusan untuk bertahan atau pindah kerja bisa diambil dengan lebih percaya diri.

Terakhir, konseling karier atau career coaching dapat menjadi pendamping
penting untuk membantu Gen Z mengenali nilai dan tujuan pribadi, sehingga setiap
langkah karier didasarkan pada pertimbangan yang matang, bukan hanya rasa takut kehilangan manfaat atau gaji.
Pada akhirnya, pilihan untuk stay di pekerjaan yang aman atau slay dengan
mengejar karier impian adalah keputusan pribadi yang tidak bisa disamaratakan.

Zona aman memang terasa nyaman, apalagi di tengah krisis ekonomi. Namun, karier yang dipilih berdasarkan nilai, minat, dan tujuan jangka panjang akan memberikan kepuasan yang lebih mendalam dibandingkan sekadar bertahan demi gaji, manfaat Dana Tapera,
atau gaya hidup ngopi.

Jadi, sebelum memutuskan untuk tetap atau berpindah, Gen Z perlu berhenti sejenak, menilai prioritas hidup, dan merencanakan masa depan dengan bijak. Dengan langkah yang tepat, pekerjaan impian tidak harus tetap menjadi mimpi.

Referernsi :
Kementerian Ketenagakerjaan Republik Indonesia. (2020–2025). Data pemutusan
hubungan kerja (PHK) Indonesia 2020–2025. Satudata Ketenagakerjaan.
https://satudata.kemnaker.go.id
Lewin, K. (1951). Field theory in social science: Selected theoretical papers (D.
Cartwright, Ed.). Harper & Row.
Mitchell, T. R., Holtom, B. C., Lee, T. W., Sablynski, C. J., & Erez, M. (2001). Why
people stay: Using job embeddedness to predict voluntary turnover. Academy
of Management Journal, 44(6), 1102–1121. https://doi.org/10.5465/3069391.(*)