Perubahan Fungsi HL dan CA Mutis Timau Jadi Taman Nasional, Begini Penjelasan Balai Besar KSDA NTT

Kepala Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Provinsi Nusa Tenggara Timur, Ir. Arief Mahmud, M.Si saat menyampaikan penjelasan dalam materi tentang Perubahan Fungsi HL dan CA Mutis Timau Menjadi Taman Nasional Mutis Timau, didampingi Pemangku Adat/ Raja Amfoang, Robby Manoh, Pemangku Adat/ Raja Mollo, Fillus Oematan, Pemangku Adat/ Raja Miomafo, Willem Kono dan Peneliti BRIN, Dr. Kayat saat Morning Gathering bersama Media di Hotel Harper Kupang, Selasa (1/10/2024).// dok. terasntt.co

KUPANG, terasntt co- Taman Nasional Mutis Timau merupakan gabungan dari Kawasan Hutan yang sebelumnya merupakan Kawasan Lindung Mutis Timau terletak di Kabupaten Kupang, Kabupaten Timor Tengah Selatan dan Timor Tengah Utara seluas 66.473,83 hektar (perubahan dari fungsi pokok Hutan Lindung menjadi Hutan Konservasi) meliputi 84,37% dari luas Taman Nasional, serta Kawasan Hutan Konservasi Cagar Alam Mutis Timau terletak di Kabupaten Timor Tengah Selatan dan Timor Tengah Utara seluas 12.315,61 hektar (perubahan dalam fungsi pokok Hutan Konservasi dari Cagar Alam menjadi Taman Nasional) meliputi 15,63% dari luas Taman Nasional.

Perubahan Fungsi Hutan Lindung dan Cagar Alam Mutis Timau menjadi Taman Nasional telah dilakukan upaya konsultasi. Upaya konsultasi telah dilakukan jauh pada saat dilakukan kegiatan Evaluasi Kesesuaian Fungsi Cagar Alam maupun secara terbatas pada saat penelitian oleh Tim Terpadu. Pemerintah menghormati pendapat setiap warga masyarakat. Perubahan Fungsi Hutan Lindung Mutis Timau dan Cagar Alam Mutis Timau dilakukan dengan menempuh prosedur sesuai Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 7 Tahun 2021 Tentang Perencanaan Kehutanan, Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan dan Perubahan Fungsi Kawasan Hutan, serta Penggunaan Kawasan Hutan.

“Pemerintah menghormati pendapat setiap warga masyarakat. Komunikasi dengan tokoh adat setempat baik Pemangku Adat Kerajaan Amfoang,
Kerajaan Molo dan Kerajaan Miomafo saat ini terus dijalankan, sosialisasi kepada masyarakat luas juga terus dilakukan agar masyarakat memahami bahwa perubahan fungsi ini dilakukan untuk pengelolaan hutan konservasi yang lebih baik dan memberikan dampak positif kepada masyarakat,” kata Kepala Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Provinsi Nusa Tenggara Timur, Ir. Arief Mahmud, M.Si dalam materi tentang Perubahan Fungsi HL dan CA Mutis Timau Menjadi Taman Nasional Mutis Timau, didampingi Pemangku Adat/ Raja Amfoang, Robby Manoh, Pemangku Adat/ Raja Mollo, Fillus Oematan, Pemangku Adat/ Raja Miomafo, Willem Kono dan Peneliti BRIN, Dr. Kayat saat Morning Gathering bersama Media di Hotel Harper Kupang, Selasa (1/10/2024).

Terkait kekhawatiran akan rusaknya hutan akibat aktivitas pembangunan oleh investor, ia menjelaskan bahwa dalam pengelolaan Taman Nasional dilakukan pembagian ruang
yang dilakukan sesuai kriteria kondisi biofisik, keberadaan satwa dan tumbuhan liar,
kondisi landscape, keberadaan situs budaya/ sejarah serta aspek lainnya. Pengaturan
zonasi meliputi : zona inti, zona rimba, zona pemanfaatan, zona tradisional, zona
rehabilitasi, zona religi, budaya dan sejarah serta zona khusus.

BACA JUGA:  Di Akhir Masa Baktinya, Melki Laka Lena Bangun BLK di Claret & Sinode GMIT

Selanjutnya pada zona pemanfaatan akan dilakukan pengaturan menjadi ruang usaha dan ruang publik. Proses pembangunan sarana wisata pada kawasan Taman Nasional sesuai ketentuan peraturan perundangan memang dimungkinkan, namun hal tersebut hanya dapat dilakukan di ruang
usaha pada Zona Pemanfaatan. Dengan pengaturan ruang ini maka aktivitas investor
tidak akan terjadi pada wilayah selain ruang usaha pada zona pemanfaatan.

Pengaturan zona ini juga akan membatasi akses pada kawasan taman nasional, masyarakat hanya
dapat melakukan aktivitas pada kawasan Taman Nasional yang sesuai dengan peruntukan zona, tidak diperkenankan melakukan aktivitas wisata pada Zona Inti.

Lebih lanjut, ia juga memaparkan keuntungan masyarakat sekitar setelah menjadi Taman Nasional.

“Beberapa aktifitas yang selama ini dilakukan oleh masyarakat sekitar tanpa payung hukum seperti pengambilan madu dan jamur, menjadi
legal karena akan ditetapkan sebagai zona tradisional sedangkan aktifitas ritual adat akan diakomodasi dalam zona religi, budaya dan sejarah. Masyarakat juga akan terlibat dalam layanan jasa wisata berupa : pemandu wisata, Jasa transprotasi pengunjung, penyediaan souvenir dan penyediaan makanan dan minuman, penyewaan peralatan, informasi wisata dan perjalanan wisata. Dalam pengemasan paket wisata dapat dilakukan penjualan baik berupa obyek wisata alam, obyek budaya (tarian adat, kain tenun, situs budaya, penyewaan kain untuk fotografi, aktifitas agrowisata, dan lainnya. Dalam pengelolaan pengunjung wisata terutama pendakian, masyarakat juga dapat menyediakan jasa penitipan kendaraan, penginapan, porter dll. Dalam upaya rehabilitasi kawasan hutan yang rusak, masyarakat juga akan dilibatkan dalam kegiatan pemulihan ekosistem dengan skema kemitraan konservasi,”jelasnya.

Dr. Kayat peneliti BRIN menjelaskan bahwa Tim terpadu yang dibentuk Kementerian LHK meliputi unsur Peneliti pada Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Perguruan Tinggi Negeri,
Direktorat Jenderal PKTL, Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem, Sekretariat Jenderal Kementerian LHK, Dinas Provinsi yang membidangi Kehutanan dan Lingkungan Hidup, Balai/institusi pengelola Kawasan hutan konservasi yang diusulkan dan instansi lain yang terkait.

BACA JUGA:  DPP Partai Golkar Umumkan Pasangan Melki - Johni Bertarung Pilgub NTT

Wakil dari lembaga/instansi Pemerintah yang ditunjuk dalam Tim Terpadu harus memenuhi syarat pengalaman dan memiliki latar belakang bidang ilmu dan kompetensi yang diperlukan dalam pelaksanaan penelitian terpadu meliputi bidang: biofisik, sosial, ekonomi, budaya, hukum dan kelembagaan. Tim Terpadu bekerja dengan metode ilmiah sehingga menghasilkan naskah hasil penelitian yang dapat dipertanggungjawabkan.

Hasil penelitian Tim Terpadu adalah bahwa usulan perubahan fungsi dari Kawasan Cagar Alam Mutis Timau yang terletak di Kabupaten Timor Tengah Selatan dan Kabupaten Timor Tengah Utara, Provinsi Nusa Tenggara Timur seluas ±12.315,61 (Dua Belas Ribu Tiga Ratus Lima Belas dan Enam Puluh Satu Perseratus) hektar dan usulan perubahan fungsi dari Kawasan Hutan lindung Mutis Timau yang terletak di Kabupaten Kupang, Kabupaten Timor Tengah Selatan dan Kabupaten Timor Tengah Utara, Provinsi Nusa Tenggara Timur direkomendasikan sebagian seluas ±66.473,83 (Enam Puluh Enam Ribu Empat Ratus Tujuh Puluh Tiga Koma Delapan Puluh Tiga) hektar direkomendasikan untuk diubah fungsi menjadi Taman Nasional. Tidak seluruh luasan Kawasan Hutan Lindung yang diusulkan menjadi Taman Nasional (102.125 ha) disetujui oleh Tim Terpadu

Pemangku Adat/ Raja Amfoang, Robby Manoh menyatakan dukungannya untuk pembentukan Taman Nasional mengingat terdapat kesamaan ketentuan pengelolaan taman nasional dengan ketentuan adat, dimana diatur larangan untuk melakukan pemanfaatan secara berlebihan dalam pemanfaatan hasil alam berupa madu, satwa liar dan lain-lain.

Pemangku Adat/ Raja Mollo, Fillus Oematan menyatakan mendukung perubahan fungsi ini karena akan memberikan dampak baik kepada masyarakat dan tetap melindungi situs-situs adat yang ada dalam kawasan hutan.

Willem Kono Pemangku Adat/ Raja Miomafo memahami latar belakang dan tujuan
perubahan fungsi Cagar Alam dan Hutan Lindung menjadi Taman Nasional, namun ia
memberi catatan untuk sedapat mungkin menghindari investor asing yang masuk dalam
pengelolaan Taman Nasional.

*/ran)