ADONARA, terasntt.co — Program bantuan dana peti mati sebagai visi dan misi Kepala Desa Kenotan, Hironimus Doma yang dipaparkan sebagai calon kepala desa dan terpilih tahun 20021. Visi dan misi itu tertuang dalam program bantuan peti mati untuk orang dewasa Rp. 2.000.000 dan anak-anak sebesar Rp. 1.000.000, mendapat sorotan Publik.
Masyarakat mempertanyakan ketidakadilan kepala desa terhadap keluarga yang mendapat bantuan dan tidak mendapatkan bantuan yang sama-sama masyarakat Desa Kenotan. Selain mendapat tanggapan masyarakat itu, rumor yang berkembang, bahwa saat ini bantuan itu sementara dihentikan karena ketiadaan sumber pendanaan untuk membiayai setiap masyarakat Desa Kenotan yang mengalami kematian.
Tak pelak, masyarakat pun menduga bahwa untuk membiayai dana peti mati tahun 2022, sebagian menggunakan APBDesa selain sumbangan pihak ke III.
Demikian disampaikan Antonius Ama Maran kepada terasntt.co melalui seluler (Minggu,4/4/2025). Di jelaskan, bahwa program yang saat itu berjalan disampaikan Kepala Desa Hironimus Doma ketika penyampaian visi dan misi menjadi salah satu calon kepala desa di Kenotan bahwa akan memberikan bantuan peti mati bagi masyarakat yang meninggal membuat sebagian besar masyarakat memilih kepala desa yang saat ini menjabat. Dari visi dan misi itu diimplementasikan lewat program dana bantuan peti mati.
Menurut Ama, awalnya berjalan baik hingga kurang lebih satu tahun, program dimaksud dihentikan tanpa pemberitahuan dari kepala desa dan membuat masyarakat bertanya-tanya dan merasa ketidakadilan dilakukan oleh kepala desa.
“Pembiayaan untuk kematian masyarakat oleh kepala desa karena merupakan visi dan misinya itu kesan awalnya bagus karena masyarakat akan terbantu, tetapi karena kematian di Kenotan ini cukup banyak, sebulan bisa mencapai dua atau tiga orang, maka desa harus benar-bener siap dengan visi dan misi yang sudah diberlakukannya itu. Yang ditakuti kalau sudah berjalan dan kemudian berhenti karena persoalan keuangan maka hanya akan mengakibatkan keributan sosial di masyarakat,” ujarnya.
Bahkan dikatakan Ama Maran, dirinya dan sebagian masyarakat sudah menduganya pembiayaan akan menjadi persoalan yang bakal dihadapi jika dijalankan. Hal ini disebabkan sebagaimana yang di sampaikan pemerintah desa bahwa sumber dana peti mati itu dari pihak ke tiga tanpa mengambil dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDesa) setiap tahunnya,” jelas Ama.
Ia melanjutkan, saat ini program sudah dihentikan sementara karena harapan mendapatkan bantuan dari pihak ketiga tidak disanggupi kepala desa. Dirinya bahkan menduga pembiayaan kematian di tahun 2022 tidak mencapai target sumbangan pihak ketiga sehingga sebagiannya dibiayai dari APBDesa. Kenyataan di lapangan, karena ketidaksanggupan kepala Desa mendapatkan sumber bantuan pihak ke III, maka kepala desa menarik sumbangan dari sebagian aparat pemerintah desa.
Saat ini, katanya program peti mati itu sudah dihentikan sementara karena ketiadaan pembiayaan lagi. Di tahun 2022 saja kematian di Kenotan sebanyak 21 orang. Nah, bagaimana memenuhi pembiayaan sesuai rencana awal,” ungkap Ama Maran.
Infomasi yang di himpun wartawan media ini mengungkapkan bahwa pemotongan gaji aparat, terdiri dari Perangkat Desa, sebesar Rp. 50.000 perbulan atau Rp. 150.000 per triwulan, BPD Rp. 10.000 perbulan atau 30.000 per triwulan, RT
Rp. 5.000 perbulan atau Rp. 15.000 per triwulan, Linmas Rp. 5.000 perbulan atau, Rp. 15.000 per triwulan, Kader dan KPM, Rp. 5.000 perbulan atau Rp. 15.000 triwulan, Tutor paud, Rp.5.000 perbulan atau Rp. 15.000 pertriwulan dan nakes Rp. 10.000 perbulan atau Rp, dan kepala desa Rp. 1000.000 atau Rp. 30.000 per triwulan. Sedangkan sumbangan pihak ketiga sebanyak 2 orang sebesar Rp. 7.000.000 dan 1.500.000.
Sementara itu Kepala Desa Kenotan yang diwawancarai beberapa pekan lalu kepada media ini mengatakan, persoalan sumbangan peti mati untuk masyarakat Desa Kenotan yang kini dihentikan sementara bukan karena terkait dengan visi dan misi kepala desa tetapi berkaitan dengan permenenungan sebagai kepala desa yang melihat adat kematian terlalu berat.
Ia mencontoh kalau adat kematian, hari ketiga atau keempat kerabat yang berhubungan keluarga harus datang, sedangkan anak minta regis atau uang sekolah selalu ada alasan uang tidak ada. Karena itu ia berkeinginan meringankan beban tanggung jawab keluarga yang kesusahkan karena kematian dengan membantu meringankan beban keuangan keluarga.
“Hampir semua orang atau kepala keluarga mengeluh terkait dengan adat kematian. Adat kematian itu, tiga atau empat harus itu wajib. hadir. Tapi kalau anak sekolah yang telepon bahwa minggu depan saya bayar regis atau uang sekolah, orang tua protes. Sehingga lahirlah hal begitu butuh semua stakerholfer pikir bagaimana kita bisa mrenyikapi hal ini. Saya punya pikiran kalau kita berpikir dengan dana desa contohnya kita di kenotan dalam satu tahun itu kematian sebanyak 40 orang kalau saya ambil dana desa sebanyak 50 juta juga sebenarnya tidak masalah bagi saya. Tapi program itu jalan bukan ambil dari dana desa tetapi kami yang di pemerintah sampai ke RT sifat nya sumbangan wajib. Lalu ada pihak ke tiga juga memberikan sumbangan. Dari sumbangan-sumbangan itu diberikan kepada keluarga duka. Di dalam perjalanan di dalam lingkaran kami pemerintah sendiri ada satu dua oknum yang selama itu tidak sepakat sampai ke RT dan linmas jadi saya terkejut, “ jelas Hironimus
Dijelaskan sumbangan itu sebagai bentuk lilin satu batang untuk keluarga duka. Yang pernah kebagian program itu dia merasa terbantu atau tertolong, tapi bagi yang diluar dari itu sesuatu yang diluar. Sehingga banyak orang prediksi bahwa dana peti mati diambil dari dana desa.
Ketika ditanya tentang laporan keuangan peti mati, Hironimus mengatakan pelaksanaan dimuali dari masa percobaan karena itu tidak masuk dalam dokumen resmi desa.
“Karena saya menjabat itu karena dalam percobaan, hal itu tidak dimasukan dalam dokumen resmi desa. Pertimbangannya, karena kita masih awal tahun jadi kita coba dulu. Dana dari mana intinya tidak boleh dari dana desa. Sumbangan kami pemerintah itu juga kami duduk bersama sepakat tetapi tidak diaturankan atau diperdeskan. Sehingga soal dana kematian itu tidak masuk dalam dokumen resmi pemerintahan desa. Tapi kita masih coba dimana respon dari masyarakat ketika program ini jalan. Seperti yang saya katakan tadi bahwa ada keluarga yang kebagian dia merasa ada manfaatnya tetapi ada keluarga yang tidak kebagian dia mempertanyakan tadi bahwa uang itu diambil dari mana.
Waktu itu saya jalankan normal tapi semakin lama semakin lama kan, kondisi kami sudah mentok sehingga sementara berhenti dulu. Dan kita lihat perkembangan ke depan,” ujar Hironimus. (pol)