Pj. Gubernur NTT Hadiri Sarasehan DPD RI Bersama Calon Presiden 2024

Penjabat Gubernur NTT Ayodhia G. L. Kalake, S.H, MDC., saat menghadiri Sarasehan DPD RI bersama Calon Presiden 2024 di Ruang Pustakaloka, Gedung Nusantara IV, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Jumat (2/2/2024).

KUPANG, terasntt.co- Penjabat Gubernur NTT Ayodhia G. L. Kalake, S.H, MDC., menghadiri Sarasehan DPD RI bersama Calon Presiden 2024 di Ruang Pustakaloka, Gedung Nusantara IV, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Jumat (2/2/2024). Sarasehan dengan tema “Menatap Kemajuan Daerah dan Sistem Ketatanegaraan” tersebut dibuka Ketua DPD RI, Ir. H. La Nyalla Mahmud Mattalitti.

Dalam sambutannya Ketua DPD RI, AA Lanyalla Mahmud Mattalitti menjelaskan salah satu persoalan fundamental terkait keadilan fiskal dalam konteks hubungan antara Pusat dan Daerah.

Seperti diketahui, kata Lanyalla, APBN terdistribusi untuk pemerintah pusat sebesar 64 persen, sedangkan pemerintah daerah 36 Persen. Sementara proporsi beban jumlah pegawai yang ditanggung pemerintah daerah sebesar 78 persen. Sedangkan pemerintah pusat hanya 22 persen.

Dengan rasio proporsi yang berbanding terbalik itu, lanjutnya, menyebabkan kapasitas pemerintah daerah dalam memberikan layanan penyelenggaraan kewenangan menjadi sangat lemah dan terbatas. Hasilnya, Standar Pelayanan Minimal (SPM) pemerintah daerah rata-rata hanya mencapai angka 58 persen untuk provinsi dan 59 persen untuk Kabupaten/Kota.

BACA JUGA:  Pemkot Kupang Raih 3 Award Pengelolaan TKD dari Kementerian Keuangan

Sebaliknya, Kementerian dengan porsi APBN yang sangat besar ternyata memiliki keterbatasan kemampuan rentang kendali hingga ke daerah, terutama di Daerah Kepulauan dan Daerah 3T (Tertinggal, Terdepan dan Terluar).

Persoalan fundamental kedua menurut Lanyalla adalah ketidakadilan yang dirasakan daerah dan masyarakat daerah terhadap pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA) dan Sumber Daya Ekonomi lainnya di daerah, yang outputnya justru memindahkan kantong kemiskinan baru dan memperparah bencana ekologi.

“Kami melihat paradigma pembangunan yang diterapkan adalah pembangunan di Indonesia, bukan membangun Indonesia. Karena untuk mengejar pertumbuhan ekonomi dan PDB, maka segala kemudahan diberikan kepada investor asing dan swasta untuk menguasai sumber daya di daerah,”tegasnya.

Persoalan fundamental ketiga yang merupakan muara dari semua persoalan fundamental tersebut menurut Lanyalla adalah asas dan sistem bernegara Indonesia yang telah meninggalkan filosofi dasar dan identitas konstitusi yaitu Pancasila.

BACA JUGA:  Politik Identitas Tidak Berlaku Lagi di NTT

“Perubahan isi dari pasal-pasal dalam UUD 1945 yang terjadi di tahun 1999 hingga 2002 silam tersebut, membuat Konstitusi Indonesia justru menjabarkan semangat individualisme dan liberalisme serta ekonomi yang kapitalistik,”terangnya.

Untuk itu, pihaknya perlu menguji visi kenegaraan capres terkait dengan putusan Sidang Paripurna DPD RI tanggal 14 Juli 2023 lalu, dimana DPD RI menawarkan kepada bangsa Indonesia untuk kembali menerapkan sistem rumusan para pendiri bangsa, dengan penyempurnaan dan penguatan. Sehingga tidak terjadi praktek penyimpangan seperti di era Orde Lama dan Orde Baru.

“Nanti kita minta pandangan dan kajian dari masing-masing capres terhadap beberapa isu fundamental tersebut. Sehingga kita dapat mengetahui visi mereka terkait hubungan pusat dan daerah, serta ketatanegaraan Indonesia,”tandasnya.

Turut hadir dalam acara tersebut pimpinan MPR dan DPR, KPU/Bawaslu, Gubernur / Pj. Gubernur, Ketua Asosiasi Pemerintahan Daerah, Raja dan Sultan Nusantara, serta pimpinan ormas, akademisi dan organisasi mahasiswa.

(*/ran)