ADONARA terasntt.co — Pemerintah Desa Kenotan, Adonara Tengah, Kabupaten Flores Timur terkesan tidak Responsif, bahkan masa bodoh. Masyarakat petani dari Kampung Lama Ole, Baolangu, Wua Oneng dan Mulawato , bahu – membahu membangun Jembatan Waitete yang menghubungkan sentra pertanian dan perkebunan yang selama tidak terjangkau karena ketiadaan jembatan penyeberangan, kini bernapas lega. Pasalnya, hasil pertanian dan perkebunan sulit diangkut dengan kendaraan dan hanya menggunakan tenaga manusia, kini dipermudah dengan menggunakan kendaraan roda dua maupun roda empat.
Jembatan yang dibangun secara swadaya itu berukuran tinggi 4 meter, lebar 5,5 meter, dan 6 meter, panjang itu menelan total anggaran sebesar Rp. 300.0000.000 lebih.
Ketua Panitia, Agustinus Demon Bala yang dihubungi terasntt.co melalui sambungan seluler, mengatakan, bahwa rencana pembangunan jembatan Waitete secara swadaya sejak tahun 2003 dan sejak satu bulan terakhir dilakukan pembersihan lokasi dan persiapan pengerjaan pengecoran, mulai dikerjakan pengecoran tiang hari ini, Rabu 13 November 2024.
Semua masyarakat petani terutama petani dari empat kampung laki-laki maupun perempuan terlibat dalam pekerjaan ini.
“Pembangunan jembatan ini karena selama ini kami petani di wilayah Desa Kenotan mengalami kesulitan untuk mengangkut hasil pertanian dan perkebunan ke lokasi dekat dengan jalan umum dan lebih mengandalkan tenaga manusia. Sebagian menggunakan ojek roda dua yang biayanya sangat mahal sementara waktu yang digunakan petani tidak efektif mengangkut hasil pertanian dan perkebunan,” katanya.
Menurut Agus pembuatan jembatan yang menelan anggaran total hingga Rp. 300.000.000 lebih adalah swadaya murni para petani. Para petani bersepakat secara sukarela per kepala keluarga dipungut biaya ratusan hingga jutaan rupiah. Uang dikumpul secara bertahap tanpa bantuan pemerintah Desa Kenotan.
“Partisipasi patani sangat besar. Dengan pekerjaan swadaya murni ini menjadi ukuran bahwa keinginan mendapatkan transportasi yang menunjang mobilitas hasil pertanian masyarakat petani sangat tinggi. Lebih lanjut dijelaskan bahwa sejak dilakukan pembersihan para petani di kampung lain datang memberikan bantuan terutama tenaga bersama-bersama bergotong-royong membangun jembatan Waitete,” ungkap Agus.
Dimulainya pekerjaan ini, menurut Agus tidak serta merta terjadi. Pertemuan orang tua keempat kampung dilakukan secara berulang-ulang hingga menyepakati sumbangan sukarela termasuk urusan ritual adat sebelum memulai kegiatan.
“Jadi sebelum memulai pekerjaan dibereskan semua urusan keuangan dan kesepakatan-kesepakatan termasuk yang seremonial adat oleh para tetua adat.” jelas Agus.
Agus mengungkapkan bahwa setelah pembangunan jembatan Waitete mudah-mudahan mendapat respon pemerintah daerah Flores Timur untuk adanya Jalan Usaha Tani (JUT) ke wilayah lonek dan sekitarnya sehingga masyarakat petani semakin lancar dalam transportasi untuk mengangkut hasil pertanian dan perkebunan dan berdampak pada peningkatan pendapatan petani.
“Kami sudah mengajukan JUT untuk wilayah ini ke pemerintah daerah.Mudah-mudahan mendapat tanggapan pemerintah Daerah. Kita sama-sama doakan adanya JUT untuk wilayah kita ini,” tandasnya.
Sementara itu, tokoh masyarakat adat, Bernadus Suban Payong yang dihubungi terpisah mengatakan, bahwa pembangunan jembatan secara swadaya ini mendapat dukungan penuh para petani Desa Kenotan secara keseluruhan karena akan menjadi pengguna jembatan Waitete, walaupun digagas hanya empat kampung, yakni: Lama Ole, Wua One, Baolangung dan Mulawato.
Dikatakan, bahwa antusiasme masyarakat sangat tinggi. Masyarakat petani di luar keempat kampung berdatangan ikut bersama-sama gotong royong membangun jembatan ini. Jembatan Waitete yang akan menghubungkan dengan komoditi pertanian sebagian besar petani Desa Kenotan. Tanpa jembatan Waitete para petani akan kesulitan di daerah pertanian lonek bisa sampai dan mengakut hasil pertaniannya dekat dengan saran transportasi umum.
“Ini luar biasa pembangunan jembatan secara swadaya penuh dan para petani sangat antusias bekerja.Ini pekerjaan yang sangat sulit bagi daerah lain bisa mengikutinya karena mengorbankan uang dan tenaganya untuk melakukan pembangunan tanpa kehadiran pemerintah desa. Ini menunjukan bahwa para petani sedang berpikir jauh ke depan untuk anak cucu. Ini hal sangat positif,” ujarnya.
Suban menyayangkan sikap pemerintah desa yang terkesan pasif dan kurang respon terhadap pembangunan jembatan ini. Baginya, pemerintah harus buka mata bahwa tanpa kehadiran mereka dalam pekerjaan ini, ribu ratu bisa melakukan pembangunan.
“Pemerintah desa harus buka mata. Harusnya pemerintah desa menjadi contoh untuk merencanakan dan melaksanakan pembangunan di desa. Kenapa pasif dan tidak respon terhadap pembangunan masyarakat secara swadaya menjadi pertanyaan ribu ratu di kampung ini. Tiga tungku harus dipahami. Pemerintah desa harus hadir sehingga ribu ratu dijamin kesejahteraannya. Pemerintah kesannya diam dan tenang-tenang saja selama beberapa tahun ini. Pembangunan kurang dirasakan masyarakat,” pungkasnya.(hp)